Sunday, June 28, 2009

Melihat Peran Bank Syariah Dalam Proses Rehabilitasi dan Rekronstruksi di Aceh.


Disadari bahwa dalam tahun terakhir ini, perbankan syariah terus menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari perkiraan. Seiring dengan itu bank-bank konvensional pun mulai berlomba membuka divisi syari’ah karena melihat minat masyarakat yang demikian tinggi pada produk perbankan syari’ah.

Dalam laporan perkembangan perbankan syariah akhir tahun 2005 yang dikeluarkan BI, dana pihak ketiga pada bank syariah mencapai Rp 15,6 triliun meningkat sebesar Rp 3,7 triliun (31,4%) dibandingkan akhir tahun 2004 sebesar 11,9 triliun dengan penambahan Rp 5,55 triliun . Adapun pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp. 15,2 triliun, naik sebesar Rp 3,7 triliun (32,6%) berbanding tahun 2004 sebesar Rp 11,5 triliun. Dari segi profitabilitas, pada tahun 2005 perbankan syariah mencapai tingkat keuntungan sebesar 238,6 milliar, meningkat sebesar Rp 76,3 miliar (47 %) dari tahun 2004.

Jumlah bank syariah juga semakin banyak dari waktu ke waktu, saat ini ada 3 bank umum syariah (BUS), 19 Unit Usaha Syariah (UUS) dan BPRS sebanyak 92 dengan jumlah kantor BUS dan UUS sebanyak 504 tersebar diseluruh Indonesia.

Kini bank-bank syariah ibarat biduk, laju perbankan syariah yang begitu cepat tidak dikuti dengan keseimbangan pengucuran kredit pada sector rill. Saat ini perahu perbankan syariah tampak sudah mulai kelebihan muatan air. Air yang masuk begitu deras tapi ternyata sulit untuk dikeluarkan secara seimbang sehingga bebanpun semakin berat.

Tulisan ini akan melihat sejauh mana peran yang dapat dimainkan oleh perbankan syariah dalam mempercepat rekonstruksi ekonomi masyarakat di Aceh pasca tsunami dengan pengucuran kredit pada sektor rill. Hal ini sesuai dengan cita-cita perbankan syariah untuk menumbuhkan iklim usaha yang adil dan memberi kesejahteraan kepada masyarakat.

Pasca tsunami menerjang Aceh, begitu banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian, ia yang dulunya pengusaha menjadi miskin tiba-tiba dengan kehilangan semua harta benda yang dimilikinya. Masyarakat kehilangan mata pencaharian karena perusahaan tempat mereka bekerja diluluh lantakkan oleh badai tsunami. Mereka yang selamat tidak mempunyai modal yang cukup untuk memulai usaha yang pernah ditekuni atau sama sekali harus memulai usaha baru. Belum lagi konflik yang berkepanjangan yang mematikan begitu banyak home industri di Aceh menjadi lengkap penderitaan yang dialami.

Beberapa bulan yang lalu BRR telah mengucurkan dana sebesar Rp 5,4 milliar untuk menggerakkan roda ekonomi masyarakat melalui modal usaha yang diterima oleh 622 kepala keluarga. Artinya per kepala keluarga hanya mendapat dana Rp 8.700.000. Bantuan yang disalurkan langsung melalui rekening masing-masing penerima bisa diartikan dua hal, pertama ia adalah modal usaha yang harus dikembangakan dengan pertanggung jawaban kemana dana diputar atau yang kedua ini adalah uang sedekah yang diberikan untuk menupi kebutuhan yang sangat mendesak seperti penyiapan rumah yang belum selesai sampai hari ini atau biaya hidup sehari-hari dalam beberapa bulan kemudian. Disisi lain dana yang diberikan oleh BRR tersebut terlalu kecil dan hanya diperuntukkan untuk usaha-usaha kecil seperti home industri dengan modal di bawah 10 juta, bagaimana dengan pengusaha menengah yang membutuhkan dana kredit usaha yang lebih besar, mungkin diatas Rp 100 juta, dimanakah mereka harus mendapatkan dana sebesar itu, bukankah dengan bergeraknya perusahaan mereka akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat Aceh ?.

Peran Bank Syariah

Inilah peran yang harus digarap dengan serius oleh perbankan syariah di Aceh, untuk membuktikan bahwa keberadaan bank syariah di Aceh bukan hanya mengumpulkan dana nasabah tapi juga mempunyai output yang lebih berarti bagi pembangunan perekonomian di Aceh pasca tsunami.

Ada kelemahan yang dirasakan selama ini dalam model pembiayaan yang dikucurkan lewat perbankan syariah. Pembiayaan bank syariah cenderung menggunakan skema pembiayaan murabahah. Pada tahun 2005, 62,3 % pembiayaan disalurkan lewat pembiayaan murabahah sedangkan mudharabah dan musyarakah hanya 20,5 % dan 12,5%.

Murabahah adalah kontrak jual ulang terhadap komoditas barang tertentu seperti mobil, motor dan lain-lain. Dimana nasabah meminta kepada pihak bank untuk membeli barang, kemudian bank syariah menjual kembali kepada nasabah dengan harga yang baru ditambah dengan marjin yang disepakati kedua belah pihak. Ada beberapa yang kelamahan ditimbulkan dari pembiayaan ini.

Pertama, murbahah adalah pembiayaan yang mengambil keuntungan dengan fixed return model, dimana kalau kita mau jujur ia hampir sama dengan model bunga flat yang dipakai pada bank konvensional, padahal yang membedakan antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada risk-profir sharing-nya. Sedangkan murabahah adalah pembiayaan yang “tidak beresiko”.

Kedua, murabahah cenderung menambah bahan bakar kepada kemungkinan terjadinya inflasi, yang mana harga komoditas barang cenderung meningkat dimasa yang akan datang.

Dan yang ketiga murabahah sama sekali tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produktifitas barang dan jasa apalagi pada sektor riil.

Mudharabah dan Musyarakah Solusi bagi Rehabilitasi Ekonomi di Aceh

Mudharabah dan musyarakah adalah sebuah bentuk kerja kemitraan (contract of co-partnership) antara pemilik modal (bank) dengan pengelolaan perusahaan. Apabila perusahaan tersebut memperoleh keuntungan maka pemilik modal akan memperoleh keuntungan bedasarkan prinsip bagi hasil yang telah disepakati. Sebaliknya apabila perusahaan mengalami kerugian maka kerugian itu ditanggung bersama pula. Bank akan mengalami kerugian dari financial dan perusahaan menanggung dari segi pengorbanan dalam bekerja.

Ada beberapa dampak yang timbul dari peningkatan prosentase pembiayaan melalui pola mudharabah dan musyarakah. Pertama, akan menggairahkan sector rill, investasi akan meningkat yang disertai dengan terbukanya lapangan kerja baru. Akibatnya masyarakat Aceh yang kehilangan lapangan pekerjaan akan mendapat ladang usaha baru yang secara otomatis menambah pendapatan mereka dan mengurangi pengangguran. Aceh hari ini membutuhkan investasi pada output-producing sector, ini akan memberikan dampak yang luar biasa. Kita membutuhkan didirikannya industri-industri dan pabrik-babrik baru yang hancur bukan saja karena tsunami tapi juga oleh konflik yang berkepanjangan. Geliat sector rill harus menjadi perhatian siapa saja termasuk bank syariah.

Kedua, ditinjau dari nasabah, nasabah mempunyai dua pilihan, apakah akan mendepositokan dananya pada bank syariah atau bank konvensional. Nasabah akan membandingkan secara cermat antara expected rate of return yang ditawarkan oleh bank syariah dengan tingkat suku bunga yang ditawarkan bank konvensional. Semakin tinggi dana yang digulirkan dengan pembiayaan mudharabah dan musyarakah maka semakin tinggi pula expected rate of return yang akan didapat oleh nasabah.

Ketiga, akan mendorong tumbuhnya pengusaha-pengusaha lokal yang berani mengambil keputusan bisnis yang beresiko. Selama ini mereka selalu kalah ketika bersaing dengan pengusaha nasional karena keterbatasan modal. Dengan dukungan dana bank syariah terhadap perusahaan lokal akan menyebabkan berkembangnya berbagai inovasi baru sehingga meningkatkan daya saing serta memunculkan beragam inovasi. Inovasi adalah keyword dalam memenangkan persaingan global.

Dan yang terakhir, pola mudharabah dan musyarakah menjadi salah satu solusi bagi perbankan syariah untuk menjawab overlikuiditas yang saat ini terjadi. Dengan cara menyalurkan dan mengembangkan dalam sector riil.

Ada beberapa kerugian yang akan dirasakan oleh perbankan syariah di Aceh apabila tidak mengambil peran mengucurkan kredit usaha bagi mayarakat Aceh.

Pertama, hampir seluruh bank syariah mempunyai dana idle (dana menganggur) atau dalam posisi kelebihan DPK. Kelebihan muatan ini menjadi beban tersendiri bagi perbankan syariah karena ketika dana ini tidak investasikan pada produk pembiayaan maka bank tidak akan mampu memberikan keuntungan (bagi hasil) yang memuaskan bagi nasabah. Hal ini mengingat penyimpanan kelebihan dana dalam Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, atau simpanan antar bank syari’ah, memberikan bagi hasil jauh di bawah bagi hasil yang diperoleh dari pembiayaan. Kondisi ini berbeda dengan perbankan konvensional, di mana kelebihan dana dianggab wajar karena masih dapat disimpan dalam sertifikat Bank Indonesia yang bunganya masih lebih tinggi dari deposito.

Kedua, karena tidak bergulirnya pembiayaan maka akan terjadi resiko displacement (pengalihan dana dari bank syariah ke bank konvensional), ini bisa terjadi karena ketidakpuasan terhadap bagi hasil ternyata lebih kecil dibandingkan besarnya jumlah bunga yang diberikan oleh bank konvensional. Sebagai contoh pada tahun 2003, rata-rata nisbah bagi hasil bank dan nasabah pada Bank Syari’ah Mandiri sebesar 49 berbanding 51. Namun saat ini nisbah tersebut berubah menjadi 55 untuk bank dan 45 untuk nasabah dan tren suku bunga bank konvensional meningkat.

Lembaga riset karim Business Consulting (KBC) membagi potensi pasar kepada tiga golongan besar, yaitu pasar loyalis syariah, pasar yang mengambang (floating market) dan pasar loyalis konvensional. Bank syariah di Aceh perlu mendefinisikan apakah nasabah perbankan syariah di Aceh hari ini adalah pasar loyalis syariah yang tetap menyimpan dananya pada bank syariah walaupun tidak memberikan keuntungan yang memuaskan atau pasar floating market yang akan memindahkan uangnya ke bank konvensional yang memberikan bunga tabungan lebih tinggi.

Kerugian yang ketiga, hilangnya kepercayaan masyarakat Aceh yang ingin mendapatkan kredit usaha dalam sector rill ketika kemudian bank syariah ternyata tidak memberikan pembiayaan dalam bentuk modal kerja padahal masyarakat membutuhkannya. Dengan tanpa pilihan akhirnya mereka lari ke bank konvensional. Ini semakin menyulitkan perbankan syariah untuk mencari mitra bisnis dalam pengembangan investasi kedepan di Aceh, disaat mitra bisnis yang mempunyai record yang baik diperbutkan oleh semua perbankan.

Penutup

Apabila bank syariah mengambil peran dalam penguliran dana berbasis mudharabah dan musyarakah maka pertumbuhan ekonomi masyarakat Aceh akan berjalan lebih cepat. Pertumbuhan pada sektor rill berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat. Makin besar pendapatan masyarakat maka akan meningkatkan daya beli masyarakat. Meningkatnya daya beli masyarakat berdampak pada peningkatan produksi. Itulah cita-cita dari kehadiran perbankan syariah di tengah-tengah masyarakat. Wallahu’alam. (Banda Aceh, 2006)


Muhammad Yasir Yusuf
PhD Candidate,School of Social Sciences
Center for Islamic Development Management Studies (ISDEV)
Universiti Sains Malaysia
11800 Pulau Pinang
Hp: +62 812 690 4025 (Indonesia)
HP: +60 13 4292056 (Malaysia)
email: yasir_yusuf@yahoo.com

Thursday, June 25, 2009

Etika Bisnis Menurut Al Qur’an


Salah satu hikmah dari krisis dan kehancuran ekonomi-bisnis sejak Juli 1997 adalah munculnya kesadaran baru akan penting dan relevansinya etika bisnis. Krisis dan kehancuran ekonomi dan bisnis telah menyadarkan banyak pihak tentang kekeliruan anggapan lama bahwa bisnis bisa bertahan dan berhasil dalam jangka panjang hanya dengan mengandalkan permainan curang.
Banyak pihak meragukan, berdasarkan kenyataan empiris selama orba, bahwa untuk berhasil dan untung orang perlu berbisnis secara etis. Berbagai praktek tender fiktif, laporan keungan asli tapi palsu, dan penuh kebohongan, kredit yang disalurkan tanpa ada jaminan dan persyaratan formal yang jelas dan sebagainya seakan menjadi dasar yang kokoh untuk menepis dan bersikap sinis terhadap tuntutan akan perlunya etika dalam bisnis. Bisnis dan etika lalu dianggab seakan dua dunia yang tidak bersentuhan bahkan bertentangannya satu sama lainnya.
Walaupun etika bisnis telah dijadikan sebagai salah satu kajian akademis pada pertengahan tahun 1980, belum lagi diskusi dan seminar-seminar digelar. Namun satu hal yang perlu di pertanyakan kembali, sudahkah perkembangan etika bisnis itu ditanggapi serius oleh para pelaku bisnis dan peletak kebijakan. Sehingga tidak berhenti dalam pembicaraan dan diskusi yang tidak punya aksi.
Pengajaran dan penegakan etika bisnis teryata harus berhadapan dengan suatu sikap pesimistis, karena realitas masyarakat kita mendorong munculnya sikap demikian. Kinerja bisnis nasional dan daerah sangat jauh dari kaidah-kaidah moral. Penerapan bidang-bidang tersebut dalam praktek bisnis masih jauh dari harapan. Banyak kendala untuk mewujudkan kinerja bisnis yang etis (bermoral).
Theo Sudimi dalam artikel kode etik bisnis, 1998 menyebutkan ada 3 kendala penting yang mempengaruhinya. Pertama, mentalitas para pelaku bisnis, terutama top manager, yang secara moral rendah, sehingga berdampak pada seluruh kinerja bisnis. Kedua adalah faktor budaya masyarakat yang cenderung memandang pekerjaan bisnis sebagai profesi yang penuh dengan tipu muslihat dan keserakahan serta bekerja mencari untung dianggap seru dan kotor. Pandangan ini memperlihatkan bahwa masyarakat kita memiliki persepsi yang keliru tentang profesi bisnis sebagai mana terjadi di negara-negara barat. Ketiga adalah faktor sistem politik dan kekuasaan yang diterapkan oleh penguasa dimana menciptakan sistem ekonomi yang begitu jauh dengan nilai-nilai moral dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme.
Nampaknya‘’malapetaka‘’dapat menjadi ‘’obat’’ mujarab untuk menumbuhkan kesadaran yang telah dibuat pada masa lampau dan keinginan untuk memperbaiki kinerja atau perilaku manusia dan lembaga di masa yang akan datang.
Pengalaman telah mengajarkan kita semua bahwa kita membutuhkan sebuah iklim bisnis yang baru sama sekali. Yaitu iklim bisnis yang benar-benar di bangun di atas dasar persaingan yang sehat dan fair, yang dengan itu menghargai etika dan moralitas. Hanya dengan iklim seperti itu, tujuan bisnis untuk berhasil dan bertahan dalam jangka panjang bisa diwujudkan. Ini berarti, asumsi dasar yang dipegang di sini adalah bisnis yang baik adalah bisnis yang berhasil dalam jangka panjang. Dan karena itu, bisnis yang baik dan berhasil adalah bisnis yang dijalankan secara etis. Karena itu etika bisnis merupakan suatu keniscayaan.

Etika bisnis menurut Al-Qur’an
Urgensi bisnis tidak dipandang sebelah mata oleh Islam. Bisnis selalu memegang peranan vital di dalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia sepanjang masa karena kekuatan ekonomi mempunyai kesamaan makna dengan kekuatan politik, sehingga urgensi bisnis mau tidak mau mempengaruhi semua tingkat individu, sosial, regional, nasional dan internasional.
Keterlibatan muslim di dalam dunia bisnis bukanlah merupakan suatu fenomena baru. Kenyataan tersebut telah berlangsung sejak 14 abad yang lalu. Hal tersebut tidaklah mengejutkan karena Islam menganjurkan umatnya untuk melakukan kegiatan bisnis. Rasulullah SAW telah terlibat di dalam kegiatan ini selama beberapa tahun.
Kebaikan dan kesuksesan serta kemajuan suatu bisnis sangat tergantung pada tingkat kesungguhan dan ketekunan kerja seorang pelaku bisnis. Al Qur’an menyebutkan tentang kerja dengan frekuensi yang sedemikian banyak. Bahkan hampir disetiap halaman Al Qur’an ada yang merefer pada kerja. Sebagai bukti ada sebanyak 360 ayat yang membicarakan tentang amal dan 109 yang membicarakan tentang fi’il (dua kata itu sama-sama bermakna kerja dan aksi). Selain dua kata itu terdapat kosa kata lain yang diambil dari akar kata yang juga menekankan pada aksi dan kerja yaitu seperti kasaba, baghiya, sa’aa dan jahada. Frkuwensi penyebutan tentang kerja yang sedemikian banyak, menunjukan betapa pentingnya segala bentuk kerja produktif dan aktivitas yang menghasilkan di dalam Al-Qur’an.
Di sisi lain Al Qur’an sangat menentang tindakan malas dan menyia-nyiakan waktu, baik dengan cara berpangku tangan dan tinggal diam atau melakukan hal-hal yang tidak berproduktif. Al Qur’an selalu menyeru manusia untuk mempergunakan waktu dengan cara mengintesvigasikan dalam hal-hal yang menguntungkan dengan selalu menggunakannya dalam tindakan-tindakan kerja yang baik. Malah orang yang tidak mempergunakan waktunya secara baik akan di cela dan dimasukkan pada golongan yang sangat merugi (Al Qur’an; 103 : 1-3)
Abdul Hadi seorang pemikir Islam mengatakan bahwa ‘’Islam aqidatun ‘amalin wa ‘amalu ‘aqidatin (Islam sebagai idiologi praktis sebagaimana juga sebagai praktek Ideologi). Ismail Raji Al Faruqi dengan daya empatik yang tak kalah segarnya mengatakan bahwasanya Islam adalah a religion of action (agama aksi). Saat menerangkan Islam pada usaha ekonomi, dia mengatakan : memenuhi dunia, ruang-ruang waktu dengan nilai-nilai, bukan hanya penting bagi agama namun ini adalah kepentingan agama.
Oleh karena itu suatu yang tidak dapat di bantah lagi bahwa semua bentuk hasil produksi adalah hasil dari pada sebuah kerja. Dan setiap perkembangan dalam hal kualitas dan kuantitas produksi juga sangat tergantung pada sebuah kerja. Maka, makna penting kerja dan amal itu tidak akan pernah diabaikan oleh Islam. Islam selalu menyeru pada setiap mukmin untuk selalu bekerja dan berjuang, serta melarang segala bentuk praktek kemalasan dan berpangku tangan.
C.C Toney dalam disertasinya yang berjudul: The Commercial-Theological Terms In The Qoran mengatakan bahwasanya sebagian dari teologi Qur’an mengandung tema-tema bisnis, ada 20 macam terminologi bisnis yang diulang pada 370 tempat dalam Al Qur’an. Penggunaan tema-tema bisnis ini, menunjukan manifestasi adanya sebuah spirit yang bersifat komersial dalam Al Qur’an dan secara otomatis pula memberikan rambu-rambu (kode etik) tersendiri bagi pelaku bisnis. Satu sisi Al Qur’an mengapresikan semangat bisnis, disisi lain ada batasan-batasan yang menjadi garis merah yang tidak boleh dilampaui dalam mengapresiasikan bisnis.
Al Qur’an melarang segala bentuk praktek ketidakadilan dalam berbisnis. Tindakan tidak fair jauh lebih dikutuk dari dosa-dosa yang lain. Kejujuran, fair, adil menjadi barometer utama dalam bisnis yang beruntung. Secara umum, Islam melarang semua bentuk transaksi yang akan menimbulkan kesulitan dan masalah, sebuah bentuk transaksi yang hanya semata-mata bedasarkan kans dan spekulasi. Dimana hak-hak semua pihak yang terlibat bisa menarik keuntungan namun mengorbankan pihak lain.
Esensi dari bisnis yang tidak di halalkan adalah suatu bisnis yang di dalamnya mengandung cara konsumsi yang haram, atau melanggar norma-norma Islam, merampas hak dan kekayaan orang lain. Inilah yang Al Qur’an sebutkan akl bi al-bathil (makan dengan cara bathil). Karena ketidakadilan berakar pada semua tindakan dan perilaku bisnis yang tidak dikehendaki, maka semua ajaran yang ada dalam Al Qur’an di fokuskan untuk mengeleminasi semua bentuk kejahatan bisnis yang mendasar ini, bahkan Rasulullah melaknat semua bentuk ketidakadilan. Ketidakadilan dan kezaliman adalah bentuk kejahatan yang tidak akan pernah diampuni. Dan orang yang melakukannya akan berada dikegelapan pada hari kiamat, ia harus membayar ‘’lunas’’ kejahatan, kezaliman yang telah dilakukan. Allah tidak akan mengampuni perbuatan curangnya kecuali orang yang dirugikan haknya mengampuni tindakannya.
Bisnis yang menguntungkan adalah sebuah bisnis yang keuntungannya bukan hanya terbatas untuk kehidupan di dunia ini, namun juga keutungan itu bisa dinikmati di akhirat. Sukses dunia dengan mengorbankan nilai-nilai religi merupakan kerugian investasi yang abadi di akhirat. Karena usaha mencari keuntungan yang demikian banyak dengan cara bisnis yang curang akhirnya akan menciptakan kemelaratan dan keterpurukan ekonomi, yang bisa dirasakan di dunia ini. Dengan demikian bisnis yang sukses tidak hanya didasari oleh perhitungan membaca pasar dengan pertimbangan-pertimbangan yang tepat tapi juga harus menghindari sifat dan perbuatan curang dan cenderung korup. Visi akhirat bisa menjadi pagar moral untuk tidak berbuat curang dalam berbisnis.
Perilaku yang benar juga menjadi parameter utama etika pelaku bisnis yang diatur oleh Al Qur’an. Al Qur’an memerintahkan pada orang-orang yang beriman untuk menjaga amanah dan menjaga janjinya (Q; 23: 8), memerintahkan bisnismen untuk adil dan moderat dalam perilaku mereka terhadap Allah, begitu juga terhadap manusia. Kebenaran mempunyai hubungan erat dengan kebijakan, oleh karena itu mengharuskan pelaku bisnis memiliki pandangan masa depan yang tajam guna mengatur dan menabung sesuatu guna menghadapi masa-masa melarat.
Dalam menggerakkan roda bisnis, seorang muslim harus selalu ingat kepada Allah, terhadap ibadah ritualnya dan berkewajiban membayar zakat walaupun aktivitasnya begitu sibuk dan cepat. Dia harus menghentikan segala aktivitas bisnisnya ketika shalat jum’at dan setelah jum’at kembali melakukan aktivitasnya. Al Qur’an telah mendeklarasikan bahwa kekayaan dan anak adalah tes krusial untuk sebuah integritas manusia. Jika manusia mampu berlaku baik saat mereka berada di tengah-tengah keuntungan dan harta yang melimpah, maka ia akan mendapat pahala yang baik karena tindakan yang demikian dianggap perilaku yang baik.

Penutup
Etika bisnis ibarat berjalan di atas pematang sawah, sebagai garis lurus yang perlu di jalani bersama. Sewaktu-waktu tergelincir dari pematang sawah adalah sifat kemanusiaan, pihak lain dan hati nurani yang religi harus berbicara secara pengontrol perilaku bisnis.
Memang pelanggaran etika sampai saat ini tak ada sanksi hukum formal yang bisa mempidanakan pelanggarannya. Namun di sisi lain, manusia adalah bagian dari makhluk yang perlu rewards (penghargaan) dari orang lain. Pelanggaran terhadap hati nurani diri dan orang lain akan mengganggu komunikasi interpersonal dan bisnis. Pelaku bisnis seyogyanya selalu mempertanyakan ‘’apakah kegiatan bisnis saya ini mengganggu atau menyusahkan pelaku bisnis lain’’? Dalam dunia bisnis diperlukan adanya kepercayaan antar pelaku bisnis, sekali kepercayaan itu runtuh karena bagian etika kurang diperhatikan, maka struktur bangunan kepercayaan akan tercabik-cabik .
Dalam masyarakat sekuler, Tuhan menjadi bagian pengawal belaka. Moral atau etika hanya dikantongi manusia ketika berhadapan dengan Tuhan. Pemisahan agama dengan kehidupan sehari-hari berarti mengingkari agama itu sendiri yang akan membawa rahmat bagi seluruh manusia atau alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Sepatutnya keberadaan Allah harus menjadi pegawas dalam berbagai aktivitas bisnis sehingga etika, moral harus lebih dikedepankan berbanding keuntungan yang semu, menghancurkan teman, saudara, kenalan dan masa depan di akhirat.
Disamping itu pula dengan tumbuhnya persaingan yang sehat merupakan kondisi yang akan menunjang terciptanya praktek bisnis yang etis. Untuk menjaga persaingan bisnis berjalan dengan fair, pemerintah di tuntut untuk terlihat secara aktif sebagai wasit yang netral dan adil. Dalam hal ini pemerintah harus berfungsi sebagai penjaga keadilan bagi semua warga negara bukan pelanggar keadilan. Wallahu a’lam.
Muhammad Yasir Yusuf
PhD Candidate,School of Social Sciences
Center for Islamic Development Management Studies (ISDEV)
Universiti Sains Malaysia
11800 Pulau Pinang
Hp: +62 812 690 4025 (Indonesia)
HP: +60 13 4292056 (Malaysia)
email: yasir_yusuf@yahoo.com

MENAKAR KEDUDUKAN PERBANKAN SYARIAH DI ACEH

Abstrak

Tulisan ini menilai sejauhmana kedudukan perbankan syariah di Aceh, apakah ia sebuah pilihan atau alternatif bagi masyarakat Aceh. Dilihat dari sisi semangat penegakan syariah Islam di Aceh maka ia adalah pilihan tetapi dilihat dari sisi tata hukum Nasional maka ia menjadi alternatif. Sehingga kedudukan perbankan Islam di Aceh sangat dipengaruhi oleh selera individu, keuntungan dan pelayanan yang ditawarkan oleh perbankan, baik syariah ataupun tidak.

Kata Kunci: Kedudukan dan Perbankan Syariah

Pendahuluan

Perkembangan perbankan syari’ah Indonesia semakin hari semakin meningkat. Pertumbuanhan perbankan syariah pada tahun 2005, dalam laporan BI akhir tahun 2005, dana pihak ketiga pada bank syariah mencapai Rp 15,6 triliun meningkat sebesar Rp 3,7 triliun (31,4%) dibandingkan akhir tahun 2004 sebesar 11,9 triliun dengan penambahan Rp 5,55 triliun . Adapun pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp. 15,2 triliun, naik sebesar Rp 3,7 triliun (32,6%) berbanding tahun 2004 sebesar Rp 11,5 triliun. Dari segi profitabilitas, pada tahun 2005 perbankan syariah mencapai tingkat keuntungan sebesar 238,6 milliar, meningkat sebesar Rp 76,3 miliar (47 %) dari tahun 2004. Jumlah bank syariah juga semakin banyak dari waktu ke waktu, saat ini ada 3 bank umum syariah (BUS), 19 Unit Usaha Syariah (UUS) dan BPRS sebanyak 92 dengan jumlah kantor BUS dan UUS sebanyak 504 tersebar diseluruh Indonesia.

Bagi masyarakat Aceh yang notabene adalah muslim, dan seiring dengan pemberlakuan syari’at Islam maka kedudukan perbankan syariah di Aceh merupakan sebuah keniscayaan. Ia akan menjadi salah satu sektor yang sangat penting dalam menggerakkan roda perekonomian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Perbankan Islam di Nanggroe Aceh Darussalam telah ada sejak tahun sembilan puluhan diawali dengan lahirnya Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) Hareukat pada tanggal 11 November 1991, yang menawarkan produk-produk perbankan syari’ah seperti mudharabah, musyarakah dan murabahah. Di tahun sembilan puluhan ini telah wujud 19 buah Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) dan Baitul Qirard ( mikro finance) di seluruh Aceh. Dan pada tahun 2005 ini disamping bertambahnya Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) dan Baitul Qiradh, sudah ada 4 bank besar yang mengelola perbankan syari’ah di Aceh, yaitu, Bank Syari’ah Mandiri, Bank DPD, Bank Muamalat Indonesia dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) syariah yang terdapat di satu kabupaten yaitu Simeulue dan dua kota yaitu Banda Aceh dan Kota Langsa. Dan menurut penulis tingkat pertumbuhan perbankan Islam ini akan terus bertambah seiring dengan kehadiran RUU PA yang mengakomodir penerapan ekonomi berbasis syariah di Aceh.

Tulisan ini akan membahas, sejauhmana kehadiran perbankan syariah di tengah kehidupan masyarakat Aceh, ia menjadi pilihan atau alternatif sebagai lembaga intermediasi dalam transaksi keuangan. Disaat semakin maraknya keinginan masyarakat Aceh untuk menjadikan syariah sebagai falsafah dalam semua sisi kehidupan termasuk dalam bidang ekonomi.

Perbankan Syariah Sebagai Pilihan Atau Alternatif

Ada dua sudut pandang yang dapat digunakan untuk memposisikan perbankan syariah menjadi pilihan atau alternative bagi masyarakat Aceh. Sudut pandang pertama adalah ekslusif dan kedua adalah inklusif.

Secara ekslusif menempatkan sistem perbankan syariah dalam posisi internal dan intergratif dari ajaran Islam. Artinya ajaran Islam sebagai sebuah kesatuan yang sistematis (kaffah) sehingga secara internal umat Islam harus menempatkan perbankan syariah sebagai sebuah pilihan. Hal ini sesuai dengan ayat Al Qur’an “udkhulu fil silmi kaffah” artinya masuklah kedalam Islam secara keseluruhan. Sehingga secara internal maka seluruh manusia yang merasa dirinya Islam mutlak menempatkan syarih diatas segala-galanya, yang harus terimplementasi dalam semua sendi kehidupan, tak terkecuali dalam dunia perbankan.

Dalam kontek ini maka industri perbankan syariah merupakan pilihan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Karena dengan tidak menempatkan syariah dalam setiap dimensi kehidupan akan berakibat fatal telah mengeliminasi darinya sebagai muslim sejati dan itu adalah sebuah pengingkaran terhadap ajaran Islam.

Secara inklusif menempatkan perbankan syariah bukan dalam posisi mandiri, terlepas dari sistem-sistem yang berkembang disekitarnya. Akan tetapi ia menjadi bahagian dari kehidupan secara keseluruhan. Dari sudut pandang ini, maka perbankan syariah merupakan salah satu system yang ada bersaing dengan system-sistem lainnya yang lebih duluan atau akan ada. Seperti kapitalisme, sosialisme dan feodalisme. Kesemua sistem ini telah berkembang pesat bahkan sudah menajdi darah daging dalam kehidupan masyarakt dunia. Bahkan, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa system yang telah ada turut berjasa dan berkontribusi terhadap lahir dan berkembangnya perbankan syari’ah.

Maka secara inklusivistik, sistem perbankan syariah haruslah diposisikan sebagai alternatif diantara sistem-sistem ekonomi konvensioanl yang ada dan berkembang saat ini. Artinya ia merupakan pilihan individu untuk memilih sesuai dengan selera, keyakinan dan keunggulan serta mana yang lebih menguntungkan baginya.

Dari dua sudut pandang diatas maka posisi perbankan syariah di tengah kehidupan masyarakat Aceh menjadi penting untuk dilihat. Keinginan masyarakat Aceh untuk menegakkan syariah sebagai falsafah ideologis disegala bidang menempatkan perbankan syariah sebagai sebuah pilihan. Tapi disisi lain keberadaan perbankan konvensional masih wujud dalam kehidupan masyarakat Aceh dan ketika dikeluarkannya fatwa MUI 2004 tentang keharaman bunga bank, tidak ditemukan adanya bank konvensional di Aceh yang tutup karena rush, menempatkan perbakan syariah sebagai alternatif..

Kalau dilihat disejumlah negara timur tengah yang menempatkan Islam sebagai falsafah ideologi, maka mereka telah menempatkan perbankan syariah sebagai pilihan, seperti Pakistan, Sudan dan Iran, semua perbankan yang beroperasi disana berlandaskan syariah. Perbankan syariah menjadi aspirasi dan inspirasi bagi segenab warganya (Chachi, 2005, hal: 20). Hal ini berbeda pula dengan Arab Saudi walaupun falsafahnya sama dengan Pakistan, Iran dan Sudan, justru mereka masih menerapkan model perbankan konvensional yang liberalistik.

Belajar dari kedua model negara diatas, bagi Nanggroe Aceh Darussalam yang sedang berjuang untuk menegakkan syariah Islam secara kaffah sebagai falsafah ideologi melalui legal konstitusi, maka tidak terlalu sulit untuk memposisikan perbankan syariah sebagai pilihan, karena ia merupakan bagian integral dari ajaran Islam, yakni salah satu bidang dari muamalah Islam (Ekonomi Islam). Akan tetapi karena Nanggroe Aceh Darussalam berada dalam wilayah hukum nasional yang tidak menempatkan Islam sebagai falsafah ideologi, melainkan ideologi Pancasila, maka menempatkan sistem perbankan syariah sebagai pilihan menjadi sulit. Indonesia bukanlah negara agama tapi negara yang beragama. Dari perspektif ini maka kedudukan perbankan syariah di Aceh tetap menjadi alternatif.

Sebagai alternatif, maka setiap warga Aceh memiliki hak sesuai dengan tingkat komitmen, selera, keyakinan dan tingkat keuntungan untuk memilih sistem perbankan yang akan digunakan dalam memutar roda ekonomi mereka. Masyarakat juga akan melihat sejauhmana perbandingan perbankan syariah dengan perbankan konvensional dari segi keunggulan produk kompetitif, kemudahan dan pelayanan yang diberikan.

Hal ini semakin diperkuat dengan hasil penelitian Sudin Haron (1993) menunjukkan bahwa 40 % muslim Malaysia memilih bank Islam karena faktor Agama, sehingga mereka mempertahankan rekening di Bank Syari’ah. Sedangkan 60 % mempertimbangkan faktor-faktor kecepatan transaksi, kualitas jasa, keramahan staff-service excellent (Haron: Sedangkan hasil penelitian Mulyani (1998) menyebutkan ada 2 faktor nasabah memilih bank Islam: Pertama, faktor agama dan kedua bagi hasil. Kesemua itu menempatkan perbankan syariah sebagai alternatif

Penutup

Memposisikan sistem perbankan syariah, apakah ia pilihan atau alternatif bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan, melainkan sekedar memposisikan secara rasional empiric, objektif dan tidak emosional. Apalagi jika kita melihat statistika pangsa aset perbankan syariah hanya 1,42 % dari keseluruhan aset perbankan nasional pada akhir 2005.

Tentunya penegakan syariat dalam bidang perbankan ini tidak akan menjadi seperti penegakan syariah dalam bidang khalwat, aurat dan judi. Dimana pelaku khalwat dan judi akan dikenakan hukuman cambuk sedangkan orang yang membuka aurat akan di sweeping. Apakah nasabah perbankan non syariah akan dicambuk atau di sweeping juga, tentu ini bukan jalan keluar.

Kita berharap kedepan perbankan syariah menjadi pilihan yang timbul dari kesadaran yang tidak dipaksakan oleh siapapun, yang secara nilai intinsik mengusung nilai-nilai ilahiyyah yang relevan dengan misi kemanusian yang menjadi dambaan seluruh umat manusia. Yaitu ekonomi yang menjanjikan keadilan dan kemakmuran, menghindari segala bentuk kemudharatan. Wallahu’alam bis shawab.


Muhammad Yasir Yusuf
PhD Candidate,School of Social Sciences
Center for Islamic Development Management Studies (ISDEV)
Universiti Sains Malaysia
11800 Pulau Pinang
Hp: +62 812 690 4025 (Indonesia)
HP: +60 13 4292056 (Malaysia)
email: yasir_yusuf@yahoo.com

Wednesday, June 24, 2009

THE CONSULTATIVE COUNCIL OF ACEH "ULAMA": HISTORY AND ROLE IN THE ACEH SOCIETY

Religious authority and political power have long been bound together in Islamic history and tradition, in which the Prophet is seen as both a religious and political leader, while the ulama are considered “the heirs of the Prophets” (warasatul ambiya’).

The ulama are Muslim scholars engaged in the several fields of Islamic studies. They are best known as the arbiters of shari'a, that is, the Islamic law. While the ulama are understandably well versed in fiqh, some of them also go on to specialize in other sciences, such as philosophy (falsafah), dialectical theology (kalam) or Quranic hermeneutics (tafsir).

Certainly the ulama in Indonesian played important role in political processes that contributed to the state of a community in every era. Some of them participated in decision making in the sultanates of Aceh, Palembang and Mataram while others devoted themselves to education and reform (Azra, 2004). And in colonial era, the ulama were involved in rebel movements or later in the struggle for national independence (Ichwan, 2005). Thus, in this period the ulama were not only religious but also political leader.

The role of the ulama in Aceh has not been limited to the religious aspect before independent of Indonesia. In the past, ulama were also political figures. Their standing in the community often rivaled that of traditional authorities; to whom they sometimes acted as counselors such as to issue fatwa (legal opinion) when society faced problems. At each administrative level, ulama shared power with the officer of the formal administration. For instance, in the meunasah (a building that functions as the center of Islamic activities) placed in gampong (village) unit-the smallest political unit in Aceh- a tengku (imam) meunasah shared power with the geuchiek in the gampong unit, the imam mukim (a group of several meunasah and gampong) share power with the head of mukim. Ulama played a similar role in other political units in Aceh such as nanggroe (subdistrict) (Dara, 2004). Various scholars have highlighted the prominence of ulama as a characteristic of Islam in Aceh. Some time the ulama are even more powerful than a political leader in a society.

In 1965, the role of the ulama in the Aceh religious authority has become even more significant since the establishment of the Council of Aceh “Ulama”. In political sphere, however, it is important to note that ulama do not have significant power to pressure anymore. They cannot force Acehnese to obey and follow such as advices or fatwa they gave even from the council of ulama. It is not compulsory for people to follow fatwa from ulama, nor they can order sanction against those who refuse to follow their advices. In this position, the Council of Aceh ‘Ulama’ activities is limited mostly to the issuance of fatawa (plural from fatwa) or non legal recommendation known as tausiyah (advice). The Council of Aceh “Ulama” have much authority; but not a actual power in politics. However, Acehnese tend to do so because they recognize certain qualities in the ulama and high regard to them persuades people to respect the ulama’s opinions. Even though in political sphere the powers of Aceh ulama have decreased.

Because of that, this article will examine influence of the Council of Aceh ‘Ulama’ which becomes the Consultative Council of Aceh ‘Ulama’; how it impacts relation between ulama and government (umara) as reflected in production of fatawa and tausiyahs, and the role of them in Aceh society.

History of The Consultative Council of Aceh (Ulama (Majlis Permusyawaran Ulama Aceh)

In Acehnese society, ‘ulama’ who are most commonly referred to as “teungku” are fatwa givers, judge, fuqaha (Islamic jurist). Other term, such as mufti (fatwa giver ), qadhi (judge) and faqih (Islamic jurist) are less common, although the term mufti and qadhi were popular in Aceh during the Islamic sultanates; especially in the period of Darussalam Kingdom (1511 M-1874 M) (Hasjmy,1995).

The Council of Aceh ‘Ulama’ was establish in December 1965 when fifty-seven ulama from throughout Aceh gathered on 17-18 December 1965 to response to the issue of communism from an Islamic legal point of view. Mudzhar said “In fact it was the first regional council of ulama to issue a fatwa, in the first month of its existence, stating that communism was forbidden in Islam and demanding that government dissolve the Indonesian Communist Party (PKI)” (Mudzhar, 1993). The meeting was held in response to a request from Aceh’s Iskandar Muda Regional Military Commander. However, because communism posed a complex issue, the ulama decided to give “collective response” (ijtihad jama’i) about that. It may have been the only Islamic organization that responded by issuing a fatwa to communism issues in early Indonesia. The forum also agreed to appoint Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba as the chairperson of The Council of Aceh ‘Ulama’ and established the fatwa commission which focused on the issuance of fatwa, and Teungku Haji Abdullah Ujong Rimba as the chairperson as well.

In the beginning, the Council of Aceh ‘Ulama’ was the government’s agency for religious matters, held formal authority from the government of Aceh. The formation of council was officially recognize and legally supported by the Regional Military Commander initially, and later by Governor of Aceh, Teungku Nyak Adam Kamil, as well as by the Gotong Royong Representative Assembly of Aceh (Dewan Perwakilan Gotong Royong, DPRGR) (Dara, 2004). In its meeting on 21-26 November 1967, the Council agreed to form an ulama council in every district and sub-district within Aceh province. Previously, the council had only one representative in each district.

On 26 July 1975, the Council of Indonesia ‘Ulama’ was formed in Soeharto era. The council of Aceh ‘Ulama’ has joined with national council and changed its name to “Majlis Ulama Indonesia Propinsi Daerah Istimewa Aceh” (the Council of Indonesia “Ulama” in Aceh) in July 1982.

In 1999, syari’ah received official recognition in Aceh with the introduction of law 44/1999 under Abdurrahman Wahid’s presidency. This law gave the right to determine matters relating to religious, culture affairs, education aspect and the role of ulama. President Megawati further strengthened the position of syari’ah with the introduction of law No 18/2001, granting Aceh special autonomy as the province of Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Therefore, Aceh’s ulama transformed the Council of Aceh ‘Ulama’ as the government’s agency to an independent ulama council. Thus, through regional regulation No 3/2000 of the government of Aceh, the Council of Aceh ’Ulama’ were again change. The council name is now “Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU)” (The Consultative Council of Aceh ‘Ulama’).

As an independent institution, The Consultative Council of Aceh ‘Ulama’ no longer functions as the government agency, but acts as an equal counterpart to the Government of Aceh and to the Regional Representatives Assembly of Aceh (DPRD). In line with its new independent character, the Consultative Council of Aceh ‘Ulama’ is no longer a branch of the Council of Indonesian ‘Ulama’. It means that it has direct official relation to the Council of Indonesian ‘Ulama’ and, thus, both might be different in structure, function as well as commissions they have. The council is not only just responsible to give fatwa on religious matters in the province, but also to inform government policies from the Islamic law-point of view. Additionally, the council has been guarding of implementations syari’ah Islam in Aceh.

The position the Consultative Council of Aceh ‘Ulama’ relative to the Government of Aceh is in equal standing. It seems to be the same with the position of the Supreme Advisory Council (Dewan Pertimbangan Agung) in government of Indonesia structure.

The main impact of the changes above is that the Consultative Council of Aceh ‘Ulama’ is now more powerful to pressure government of Aceh in implementation of law toward justice in all of aspect society. In one hand, they have legal authority, guarantees with regional regulation and in the other hand, morality, knowledge and charisma of ulama invite sympathy and regard from Acehnes. It appears now that the ulama has power in politics and people support them as well. However, the egalitarian Acehnese can always leave them again if people see injustices, corruption and silence of amar ma’ruf nahi mungkar (command the good and forbid the evil) and the ulama does not do anything.

The role of Ulama in The Aceh Society

As we know, ulama in the past have much authority in religious and political matter. They guard the implementation of syari’ah in community and show guidance to the government to decide what best they can do to protect and create welfare for the people. The government always asks guidance from them when to run every policy. And some of ulama become political leader such as participate in decision making to ensure that there will be no law in the country that are contradictory to the teachings of Islam.

In general there are three courses of action have been opening to the ulama in their social and political roles. First, political aloofness. This attitude believes, that the ulama should concern themselves only with the syari’ah. The government has theobligation to ensure that condition is suitable for the carrying out of the syari’ah. As long as they do this, then the ulama do not concern themselves with political matters. Second, support for the government. Those that advocate this position argued that the syari’ah can only be implemented in the conditions of political stability and social order. Therefore it is the duty of ulama to support the government in the execution of its duties. And the last one is opposition to the government. This position was adopted when ulama fear that closeness with the government can be used to infiltrate by the government in their decision and that the ulama are going to be the government agency.

Three theories mentioned can be applied to the Consultative Council of Aceh ‘Ulama’ to build relationship between government and ulama. The choice depends on the ulama themselves. Many facts in Islamic history mentioned the three types of relationship between the ulama and government. However, in my opinion this is not the important thing.

The important thing is how ulama can have siginificant influence on the society and the government to implement syari’ah Islam in Aceh. In most cases the ulama in many Muslim countries cooperates with rulers and play the role of defending or silently accepting the government politics as long as they are appropriate with Islamic teachings. But if government does not serve the people appropriately, being suppressive and corrupt, the ulama can always help the people to overthrow the government, as happened in Iran 1979.

The ulama have great influence on most muslim society and the government part of society too. This influence is easily destroyed when ulama loses its credibility. The credibility of the ulama depends very much on their level of independence and morality; if there is too much cooperation with the rulers; people will turn away from the ulama to find their religious guidance somewhere else, resulting in ulama without power. If ulama far away from the government; the government will lost guidance. So ulama have to be in the middle between people and the government . Ulama can give guidance in people life and bring spirituality to a leaderhsip.

Conclusion

In regional regulation No 44/1999, position of ulama very is determinant in Aceh. The Consultative Council of Aceh ‘Ulama’ (Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU)” become independent and the role of the ulama in Aceh has become even more significant because ulama are having power in politics to pressure again. The government have to obey and follow advices or fatwa given by the ulama. The council became institution important for balancing two powers between the government and the Regional Representatives Assembly of Aceh (DPRD).

The members of the council have to show moral credibility, honesty, transparence and independence to the society in order to maintain the influence. The Acehnese has been losing figure of charismatic ulama years ago. Perhaps, the Consultative Council of Aceh ‘Ulama’ can lead the disoriented community and leadership and be part of a solution in Aceh recovery after tsunami.



Muhammad Yasir Yusuf
PhD Candidate,School of Social Sciences
Center for Islamic Development Management Studies (ISDEV)
Universiti Sains Malaysia
11800 Pulau Pinang
Hp: +62 812 690 4025 (Indonesia)
HP: +60 13 4292056 (Malaysia)