Sunday, June 28, 2009

Melihat Peran Bank Syariah Dalam Proses Rehabilitasi dan Rekronstruksi di Aceh.


Disadari bahwa dalam tahun terakhir ini, perbankan syariah terus menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari perkiraan. Seiring dengan itu bank-bank konvensional pun mulai berlomba membuka divisi syari’ah karena melihat minat masyarakat yang demikian tinggi pada produk perbankan syari’ah.

Dalam laporan perkembangan perbankan syariah akhir tahun 2005 yang dikeluarkan BI, dana pihak ketiga pada bank syariah mencapai Rp 15,6 triliun meningkat sebesar Rp 3,7 triliun (31,4%) dibandingkan akhir tahun 2004 sebesar 11,9 triliun dengan penambahan Rp 5,55 triliun . Adapun pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp. 15,2 triliun, naik sebesar Rp 3,7 triliun (32,6%) berbanding tahun 2004 sebesar Rp 11,5 triliun. Dari segi profitabilitas, pada tahun 2005 perbankan syariah mencapai tingkat keuntungan sebesar 238,6 milliar, meningkat sebesar Rp 76,3 miliar (47 %) dari tahun 2004.

Jumlah bank syariah juga semakin banyak dari waktu ke waktu, saat ini ada 3 bank umum syariah (BUS), 19 Unit Usaha Syariah (UUS) dan BPRS sebanyak 92 dengan jumlah kantor BUS dan UUS sebanyak 504 tersebar diseluruh Indonesia.

Kini bank-bank syariah ibarat biduk, laju perbankan syariah yang begitu cepat tidak dikuti dengan keseimbangan pengucuran kredit pada sector rill. Saat ini perahu perbankan syariah tampak sudah mulai kelebihan muatan air. Air yang masuk begitu deras tapi ternyata sulit untuk dikeluarkan secara seimbang sehingga bebanpun semakin berat.

Tulisan ini akan melihat sejauh mana peran yang dapat dimainkan oleh perbankan syariah dalam mempercepat rekonstruksi ekonomi masyarakat di Aceh pasca tsunami dengan pengucuran kredit pada sektor rill. Hal ini sesuai dengan cita-cita perbankan syariah untuk menumbuhkan iklim usaha yang adil dan memberi kesejahteraan kepada masyarakat.

Pasca tsunami menerjang Aceh, begitu banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian, ia yang dulunya pengusaha menjadi miskin tiba-tiba dengan kehilangan semua harta benda yang dimilikinya. Masyarakat kehilangan mata pencaharian karena perusahaan tempat mereka bekerja diluluh lantakkan oleh badai tsunami. Mereka yang selamat tidak mempunyai modal yang cukup untuk memulai usaha yang pernah ditekuni atau sama sekali harus memulai usaha baru. Belum lagi konflik yang berkepanjangan yang mematikan begitu banyak home industri di Aceh menjadi lengkap penderitaan yang dialami.

Beberapa bulan yang lalu BRR telah mengucurkan dana sebesar Rp 5,4 milliar untuk menggerakkan roda ekonomi masyarakat melalui modal usaha yang diterima oleh 622 kepala keluarga. Artinya per kepala keluarga hanya mendapat dana Rp 8.700.000. Bantuan yang disalurkan langsung melalui rekening masing-masing penerima bisa diartikan dua hal, pertama ia adalah modal usaha yang harus dikembangakan dengan pertanggung jawaban kemana dana diputar atau yang kedua ini adalah uang sedekah yang diberikan untuk menupi kebutuhan yang sangat mendesak seperti penyiapan rumah yang belum selesai sampai hari ini atau biaya hidup sehari-hari dalam beberapa bulan kemudian. Disisi lain dana yang diberikan oleh BRR tersebut terlalu kecil dan hanya diperuntukkan untuk usaha-usaha kecil seperti home industri dengan modal di bawah 10 juta, bagaimana dengan pengusaha menengah yang membutuhkan dana kredit usaha yang lebih besar, mungkin diatas Rp 100 juta, dimanakah mereka harus mendapatkan dana sebesar itu, bukankah dengan bergeraknya perusahaan mereka akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat Aceh ?.

Peran Bank Syariah

Inilah peran yang harus digarap dengan serius oleh perbankan syariah di Aceh, untuk membuktikan bahwa keberadaan bank syariah di Aceh bukan hanya mengumpulkan dana nasabah tapi juga mempunyai output yang lebih berarti bagi pembangunan perekonomian di Aceh pasca tsunami.

Ada kelemahan yang dirasakan selama ini dalam model pembiayaan yang dikucurkan lewat perbankan syariah. Pembiayaan bank syariah cenderung menggunakan skema pembiayaan murabahah. Pada tahun 2005, 62,3 % pembiayaan disalurkan lewat pembiayaan murabahah sedangkan mudharabah dan musyarakah hanya 20,5 % dan 12,5%.

Murabahah adalah kontrak jual ulang terhadap komoditas barang tertentu seperti mobil, motor dan lain-lain. Dimana nasabah meminta kepada pihak bank untuk membeli barang, kemudian bank syariah menjual kembali kepada nasabah dengan harga yang baru ditambah dengan marjin yang disepakati kedua belah pihak. Ada beberapa yang kelamahan ditimbulkan dari pembiayaan ini.

Pertama, murbahah adalah pembiayaan yang mengambil keuntungan dengan fixed return model, dimana kalau kita mau jujur ia hampir sama dengan model bunga flat yang dipakai pada bank konvensional, padahal yang membedakan antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada risk-profir sharing-nya. Sedangkan murabahah adalah pembiayaan yang “tidak beresiko”.

Kedua, murabahah cenderung menambah bahan bakar kepada kemungkinan terjadinya inflasi, yang mana harga komoditas barang cenderung meningkat dimasa yang akan datang.

Dan yang ketiga murabahah sama sekali tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produktifitas barang dan jasa apalagi pada sektor riil.

Mudharabah dan Musyarakah Solusi bagi Rehabilitasi Ekonomi di Aceh

Mudharabah dan musyarakah adalah sebuah bentuk kerja kemitraan (contract of co-partnership) antara pemilik modal (bank) dengan pengelolaan perusahaan. Apabila perusahaan tersebut memperoleh keuntungan maka pemilik modal akan memperoleh keuntungan bedasarkan prinsip bagi hasil yang telah disepakati. Sebaliknya apabila perusahaan mengalami kerugian maka kerugian itu ditanggung bersama pula. Bank akan mengalami kerugian dari financial dan perusahaan menanggung dari segi pengorbanan dalam bekerja.

Ada beberapa dampak yang timbul dari peningkatan prosentase pembiayaan melalui pola mudharabah dan musyarakah. Pertama, akan menggairahkan sector rill, investasi akan meningkat yang disertai dengan terbukanya lapangan kerja baru. Akibatnya masyarakat Aceh yang kehilangan lapangan pekerjaan akan mendapat ladang usaha baru yang secara otomatis menambah pendapatan mereka dan mengurangi pengangguran. Aceh hari ini membutuhkan investasi pada output-producing sector, ini akan memberikan dampak yang luar biasa. Kita membutuhkan didirikannya industri-industri dan pabrik-babrik baru yang hancur bukan saja karena tsunami tapi juga oleh konflik yang berkepanjangan. Geliat sector rill harus menjadi perhatian siapa saja termasuk bank syariah.

Kedua, ditinjau dari nasabah, nasabah mempunyai dua pilihan, apakah akan mendepositokan dananya pada bank syariah atau bank konvensional. Nasabah akan membandingkan secara cermat antara expected rate of return yang ditawarkan oleh bank syariah dengan tingkat suku bunga yang ditawarkan bank konvensional. Semakin tinggi dana yang digulirkan dengan pembiayaan mudharabah dan musyarakah maka semakin tinggi pula expected rate of return yang akan didapat oleh nasabah.

Ketiga, akan mendorong tumbuhnya pengusaha-pengusaha lokal yang berani mengambil keputusan bisnis yang beresiko. Selama ini mereka selalu kalah ketika bersaing dengan pengusaha nasional karena keterbatasan modal. Dengan dukungan dana bank syariah terhadap perusahaan lokal akan menyebabkan berkembangnya berbagai inovasi baru sehingga meningkatkan daya saing serta memunculkan beragam inovasi. Inovasi adalah keyword dalam memenangkan persaingan global.

Dan yang terakhir, pola mudharabah dan musyarakah menjadi salah satu solusi bagi perbankan syariah untuk menjawab overlikuiditas yang saat ini terjadi. Dengan cara menyalurkan dan mengembangkan dalam sector riil.

Ada beberapa kerugian yang akan dirasakan oleh perbankan syariah di Aceh apabila tidak mengambil peran mengucurkan kredit usaha bagi mayarakat Aceh.

Pertama, hampir seluruh bank syariah mempunyai dana idle (dana menganggur) atau dalam posisi kelebihan DPK. Kelebihan muatan ini menjadi beban tersendiri bagi perbankan syariah karena ketika dana ini tidak investasikan pada produk pembiayaan maka bank tidak akan mampu memberikan keuntungan (bagi hasil) yang memuaskan bagi nasabah. Hal ini mengingat penyimpanan kelebihan dana dalam Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, atau simpanan antar bank syari’ah, memberikan bagi hasil jauh di bawah bagi hasil yang diperoleh dari pembiayaan. Kondisi ini berbeda dengan perbankan konvensional, di mana kelebihan dana dianggab wajar karena masih dapat disimpan dalam sertifikat Bank Indonesia yang bunganya masih lebih tinggi dari deposito.

Kedua, karena tidak bergulirnya pembiayaan maka akan terjadi resiko displacement (pengalihan dana dari bank syariah ke bank konvensional), ini bisa terjadi karena ketidakpuasan terhadap bagi hasil ternyata lebih kecil dibandingkan besarnya jumlah bunga yang diberikan oleh bank konvensional. Sebagai contoh pada tahun 2003, rata-rata nisbah bagi hasil bank dan nasabah pada Bank Syari’ah Mandiri sebesar 49 berbanding 51. Namun saat ini nisbah tersebut berubah menjadi 55 untuk bank dan 45 untuk nasabah dan tren suku bunga bank konvensional meningkat.

Lembaga riset karim Business Consulting (KBC) membagi potensi pasar kepada tiga golongan besar, yaitu pasar loyalis syariah, pasar yang mengambang (floating market) dan pasar loyalis konvensional. Bank syariah di Aceh perlu mendefinisikan apakah nasabah perbankan syariah di Aceh hari ini adalah pasar loyalis syariah yang tetap menyimpan dananya pada bank syariah walaupun tidak memberikan keuntungan yang memuaskan atau pasar floating market yang akan memindahkan uangnya ke bank konvensional yang memberikan bunga tabungan lebih tinggi.

Kerugian yang ketiga, hilangnya kepercayaan masyarakat Aceh yang ingin mendapatkan kredit usaha dalam sector rill ketika kemudian bank syariah ternyata tidak memberikan pembiayaan dalam bentuk modal kerja padahal masyarakat membutuhkannya. Dengan tanpa pilihan akhirnya mereka lari ke bank konvensional. Ini semakin menyulitkan perbankan syariah untuk mencari mitra bisnis dalam pengembangan investasi kedepan di Aceh, disaat mitra bisnis yang mempunyai record yang baik diperbutkan oleh semua perbankan.

Penutup

Apabila bank syariah mengambil peran dalam penguliran dana berbasis mudharabah dan musyarakah maka pertumbuhan ekonomi masyarakat Aceh akan berjalan lebih cepat. Pertumbuhan pada sektor rill berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat. Makin besar pendapatan masyarakat maka akan meningkatkan daya beli masyarakat. Meningkatnya daya beli masyarakat berdampak pada peningkatan produksi. Itulah cita-cita dari kehadiran perbankan syariah di tengah-tengah masyarakat. Wallahu’alam. (Banda Aceh, 2006)


Muhammad Yasir Yusuf
PhD Candidate,School of Social Sciences
Center for Islamic Development Management Studies (ISDEV)
Universiti Sains Malaysia
11800 Pulau Pinang
Hp: +62 812 690 4025 (Indonesia)
HP: +60 13 4292056 (Malaysia)
email: yasir_yusuf@yahoo.com

1 comment:

  1. Assalam'alaikum... Ustad, Ni Muhammad Yasir SMI-05. Syukran masukannya. Yasir ada pertanyaan, apakah dana yang menganggur (idle) di perbankan syari'ah termasuk dalam kategori menimbun harta?, Syukran Jazakallah. Oya, ustad tambah kolom diskusi lah... biar kami2 bisa konsultasi lebih lanjut. Syukran...

    ReplyDelete