Thursday, June 25, 2009

MENAKAR KEDUDUKAN PERBANKAN SYARIAH DI ACEH

Abstrak

Tulisan ini menilai sejauhmana kedudukan perbankan syariah di Aceh, apakah ia sebuah pilihan atau alternatif bagi masyarakat Aceh. Dilihat dari sisi semangat penegakan syariah Islam di Aceh maka ia adalah pilihan tetapi dilihat dari sisi tata hukum Nasional maka ia menjadi alternatif. Sehingga kedudukan perbankan Islam di Aceh sangat dipengaruhi oleh selera individu, keuntungan dan pelayanan yang ditawarkan oleh perbankan, baik syariah ataupun tidak.

Kata Kunci: Kedudukan dan Perbankan Syariah

Pendahuluan

Perkembangan perbankan syari’ah Indonesia semakin hari semakin meningkat. Pertumbuanhan perbankan syariah pada tahun 2005, dalam laporan BI akhir tahun 2005, dana pihak ketiga pada bank syariah mencapai Rp 15,6 triliun meningkat sebesar Rp 3,7 triliun (31,4%) dibandingkan akhir tahun 2004 sebesar 11,9 triliun dengan penambahan Rp 5,55 triliun . Adapun pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp. 15,2 triliun, naik sebesar Rp 3,7 triliun (32,6%) berbanding tahun 2004 sebesar Rp 11,5 triliun. Dari segi profitabilitas, pada tahun 2005 perbankan syariah mencapai tingkat keuntungan sebesar 238,6 milliar, meningkat sebesar Rp 76,3 miliar (47 %) dari tahun 2004. Jumlah bank syariah juga semakin banyak dari waktu ke waktu, saat ini ada 3 bank umum syariah (BUS), 19 Unit Usaha Syariah (UUS) dan BPRS sebanyak 92 dengan jumlah kantor BUS dan UUS sebanyak 504 tersebar diseluruh Indonesia.

Bagi masyarakat Aceh yang notabene adalah muslim, dan seiring dengan pemberlakuan syari’at Islam maka kedudukan perbankan syariah di Aceh merupakan sebuah keniscayaan. Ia akan menjadi salah satu sektor yang sangat penting dalam menggerakkan roda perekonomian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Perbankan Islam di Nanggroe Aceh Darussalam telah ada sejak tahun sembilan puluhan diawali dengan lahirnya Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) Hareukat pada tanggal 11 November 1991, yang menawarkan produk-produk perbankan syari’ah seperti mudharabah, musyarakah dan murabahah. Di tahun sembilan puluhan ini telah wujud 19 buah Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) dan Baitul Qirard ( mikro finance) di seluruh Aceh. Dan pada tahun 2005 ini disamping bertambahnya Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) dan Baitul Qiradh, sudah ada 4 bank besar yang mengelola perbankan syari’ah di Aceh, yaitu, Bank Syari’ah Mandiri, Bank DPD, Bank Muamalat Indonesia dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) syariah yang terdapat di satu kabupaten yaitu Simeulue dan dua kota yaitu Banda Aceh dan Kota Langsa. Dan menurut penulis tingkat pertumbuhan perbankan Islam ini akan terus bertambah seiring dengan kehadiran RUU PA yang mengakomodir penerapan ekonomi berbasis syariah di Aceh.

Tulisan ini akan membahas, sejauhmana kehadiran perbankan syariah di tengah kehidupan masyarakat Aceh, ia menjadi pilihan atau alternatif sebagai lembaga intermediasi dalam transaksi keuangan. Disaat semakin maraknya keinginan masyarakat Aceh untuk menjadikan syariah sebagai falsafah dalam semua sisi kehidupan termasuk dalam bidang ekonomi.

Perbankan Syariah Sebagai Pilihan Atau Alternatif

Ada dua sudut pandang yang dapat digunakan untuk memposisikan perbankan syariah menjadi pilihan atau alternative bagi masyarakat Aceh. Sudut pandang pertama adalah ekslusif dan kedua adalah inklusif.

Secara ekslusif menempatkan sistem perbankan syariah dalam posisi internal dan intergratif dari ajaran Islam. Artinya ajaran Islam sebagai sebuah kesatuan yang sistematis (kaffah) sehingga secara internal umat Islam harus menempatkan perbankan syariah sebagai sebuah pilihan. Hal ini sesuai dengan ayat Al Qur’an “udkhulu fil silmi kaffah” artinya masuklah kedalam Islam secara keseluruhan. Sehingga secara internal maka seluruh manusia yang merasa dirinya Islam mutlak menempatkan syarih diatas segala-galanya, yang harus terimplementasi dalam semua sendi kehidupan, tak terkecuali dalam dunia perbankan.

Dalam kontek ini maka industri perbankan syariah merupakan pilihan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Karena dengan tidak menempatkan syariah dalam setiap dimensi kehidupan akan berakibat fatal telah mengeliminasi darinya sebagai muslim sejati dan itu adalah sebuah pengingkaran terhadap ajaran Islam.

Secara inklusif menempatkan perbankan syariah bukan dalam posisi mandiri, terlepas dari sistem-sistem yang berkembang disekitarnya. Akan tetapi ia menjadi bahagian dari kehidupan secara keseluruhan. Dari sudut pandang ini, maka perbankan syariah merupakan salah satu system yang ada bersaing dengan system-sistem lainnya yang lebih duluan atau akan ada. Seperti kapitalisme, sosialisme dan feodalisme. Kesemua sistem ini telah berkembang pesat bahkan sudah menajdi darah daging dalam kehidupan masyarakt dunia. Bahkan, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa system yang telah ada turut berjasa dan berkontribusi terhadap lahir dan berkembangnya perbankan syari’ah.

Maka secara inklusivistik, sistem perbankan syariah haruslah diposisikan sebagai alternatif diantara sistem-sistem ekonomi konvensioanl yang ada dan berkembang saat ini. Artinya ia merupakan pilihan individu untuk memilih sesuai dengan selera, keyakinan dan keunggulan serta mana yang lebih menguntungkan baginya.

Dari dua sudut pandang diatas maka posisi perbankan syariah di tengah kehidupan masyarakat Aceh menjadi penting untuk dilihat. Keinginan masyarakat Aceh untuk menegakkan syariah sebagai falsafah ideologis disegala bidang menempatkan perbankan syariah sebagai sebuah pilihan. Tapi disisi lain keberadaan perbankan konvensional masih wujud dalam kehidupan masyarakat Aceh dan ketika dikeluarkannya fatwa MUI 2004 tentang keharaman bunga bank, tidak ditemukan adanya bank konvensional di Aceh yang tutup karena rush, menempatkan perbakan syariah sebagai alternatif..

Kalau dilihat disejumlah negara timur tengah yang menempatkan Islam sebagai falsafah ideologi, maka mereka telah menempatkan perbankan syariah sebagai pilihan, seperti Pakistan, Sudan dan Iran, semua perbankan yang beroperasi disana berlandaskan syariah. Perbankan syariah menjadi aspirasi dan inspirasi bagi segenab warganya (Chachi, 2005, hal: 20). Hal ini berbeda pula dengan Arab Saudi walaupun falsafahnya sama dengan Pakistan, Iran dan Sudan, justru mereka masih menerapkan model perbankan konvensional yang liberalistik.

Belajar dari kedua model negara diatas, bagi Nanggroe Aceh Darussalam yang sedang berjuang untuk menegakkan syariah Islam secara kaffah sebagai falsafah ideologi melalui legal konstitusi, maka tidak terlalu sulit untuk memposisikan perbankan syariah sebagai pilihan, karena ia merupakan bagian integral dari ajaran Islam, yakni salah satu bidang dari muamalah Islam (Ekonomi Islam). Akan tetapi karena Nanggroe Aceh Darussalam berada dalam wilayah hukum nasional yang tidak menempatkan Islam sebagai falsafah ideologi, melainkan ideologi Pancasila, maka menempatkan sistem perbankan syariah sebagai pilihan menjadi sulit. Indonesia bukanlah negara agama tapi negara yang beragama. Dari perspektif ini maka kedudukan perbankan syariah di Aceh tetap menjadi alternatif.

Sebagai alternatif, maka setiap warga Aceh memiliki hak sesuai dengan tingkat komitmen, selera, keyakinan dan tingkat keuntungan untuk memilih sistem perbankan yang akan digunakan dalam memutar roda ekonomi mereka. Masyarakat juga akan melihat sejauhmana perbandingan perbankan syariah dengan perbankan konvensional dari segi keunggulan produk kompetitif, kemudahan dan pelayanan yang diberikan.

Hal ini semakin diperkuat dengan hasil penelitian Sudin Haron (1993) menunjukkan bahwa 40 % muslim Malaysia memilih bank Islam karena faktor Agama, sehingga mereka mempertahankan rekening di Bank Syari’ah. Sedangkan 60 % mempertimbangkan faktor-faktor kecepatan transaksi, kualitas jasa, keramahan staff-service excellent (Haron: Sedangkan hasil penelitian Mulyani (1998) menyebutkan ada 2 faktor nasabah memilih bank Islam: Pertama, faktor agama dan kedua bagi hasil. Kesemua itu menempatkan perbankan syariah sebagai alternatif

Penutup

Memposisikan sistem perbankan syariah, apakah ia pilihan atau alternatif bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan, melainkan sekedar memposisikan secara rasional empiric, objektif dan tidak emosional. Apalagi jika kita melihat statistika pangsa aset perbankan syariah hanya 1,42 % dari keseluruhan aset perbankan nasional pada akhir 2005.

Tentunya penegakan syariat dalam bidang perbankan ini tidak akan menjadi seperti penegakan syariah dalam bidang khalwat, aurat dan judi. Dimana pelaku khalwat dan judi akan dikenakan hukuman cambuk sedangkan orang yang membuka aurat akan di sweeping. Apakah nasabah perbankan non syariah akan dicambuk atau di sweeping juga, tentu ini bukan jalan keluar.

Kita berharap kedepan perbankan syariah menjadi pilihan yang timbul dari kesadaran yang tidak dipaksakan oleh siapapun, yang secara nilai intinsik mengusung nilai-nilai ilahiyyah yang relevan dengan misi kemanusian yang menjadi dambaan seluruh umat manusia. Yaitu ekonomi yang menjanjikan keadilan dan kemakmuran, menghindari segala bentuk kemudharatan. Wallahu’alam bis shawab.


Muhammad Yasir Yusuf
PhD Candidate,School of Social Sciences
Center for Islamic Development Management Studies (ISDEV)
Universiti Sains Malaysia
11800 Pulau Pinang
Hp: +62 812 690 4025 (Indonesia)
HP: +60 13 4292056 (Malaysia)
email: yasir_yusuf@yahoo.com

No comments:

Post a Comment